Sakit yang sering dianggap oleh banyak orang sebagai
penderitaan, coba sekarang kita lihat dari sudut pandang yang berbeda:
1. Sakit (penyakit) merupakan salah satu cara Allah untuk
menaikkan derajat keislaman dan keimanan sekaligus untuk menghapus dosa
hamba-Nya yang Muslim. Ini kita pahami dari riwayat hadits berikut. Aisyah r.a.
berkata, “Rasulullah bersabda, ‘Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seorang
Muslim, baik berupa terkena duri atau yang lebih besar dari itu, kecuali
melalui musibah itu Allah mengangkatnya satu derajat atau menghapusnya satu
dosa.’” Dari sisi ini, kita justru harus beryukur, di samping bersabar, apabila
diuji dengan penyakit, karena dengan begitu derajat kita akan meningkat atau
dosa kita akan berkurang.
2. Terkadang kita mengeluh: “Kenapa harus saya yang diberi
penyakit ini, padahal saya sudah rajin beribadah? Sementara ada orang yang suka
berbuat maksiat kok malah sehat wal afiat dan segar bugar?” Ibadah bukan untuk
menolak penyakit. Sebab para nabi yang ibadahnya begitu sempurna pun terkena
sakit juga. Jadi, kalau kita merasa suka mengeluh, cobalah sekarang kita
kurangi keluhan itu. Kita mengeluh terus menerus pun penyakit belum tentu
sembuh, bahkan boleh jadi bertambah parah karena perasaan tertekan kita itu.
3. Kalau kita sudah biasa menerima karunia dan rezeki Allah
dengan penuh syukur, cobalah sekarang kita menerima ujian/cobaan Allah dengan
penuh sabar. Sebab, Muslim yang baik, seperti kita pahami dari sebuah hadits
Nabi saw., adalah Muslim yang bersyukur ketika mendapat kenikmatan dan bersabar
ketika mendapat kesulitan atau musibah. Walaupun faktor-faktor yang menyebabkan
kita sakit itu boleh jadi adalah hasil perbuatan kita sendiri (sering kali
karena pola makan kita), tetapi tetap saja penyakit merupakan ketentuan Allah.
Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi di muka bumi ini yang berada di luar
ketentuan Allah. Oleh karena itu, menerimanya justru merupakan sikap yang jauh
lebih baik daripada mengeluhkannya. Tentu menerima di sini bukan berarti pasrah
tanpa upaya berobat. Upaya untuk berobat tetap harus dilakukan.
4. Selain kita yang manusia biasa ini, para nabi pun –yang
jelas-jelas manusia pilihan Allah– juga mengalami sakit. Nabi Ayub a.s. bahkan
pernah mengalami sakit selama 18 tahun. Bukan hanya itu, dalam banyak literatur
tafsir disebutkan bahwa Nabi Ayub sebelumnya adalah orang kaya raya dan banyak
anak. Tetapi semua harta dan anak itu diambil oleh Allah. Artinya, Nabi Ayub
bukan hanya “kehilangan” kesehatannya, tetapi juga harta dan keluarganya.
Tetapi itu semua tidak mengurangi kesabarannya dan ketabahannya untuk terus
berzikir dan memohon rahmat Allah. Sekujur tubuhnya sakit, tinggal dua organ
tubuhnya yang masih sehat, hati dan lidahnya. Kedua organ tubuh yang tersisa
dan masih sehat itu justru ia gunakan untuk berzikir kepada Allah.
5. Masih dalam kisah Nabi Ayub r.a., istri sang nabi yang sangat
setia merawat penyakitnya pernah menyampaikan kepadanya, “Wahai Ayub! Kalau
engkau memohon kepada Tuhanmu, pasti engkau akan disembuhkan.” Nabi Ayub lalu
menjawab, “Aku sudah hidup selama 70 tahun dalam keadaan sehat. Maka kalau aku
sabar selama 70 tahun itu masih sangat sedikit bagi Allah?” Mendengar jawaban
itu, sang istri sangat terkejut.
Untuk diketahui, sang istri bekerja kepada orang dengan
mendapatkan upah yang dimanfaatkan untuk memberi makan sang suami. Ini jelas
merupakan bimbingan agar keluarga orang yang sedang menderita sakit seharusya
juga menunjukkan kesetiaan pengabdiannya dalam merawat dan mengobati si sakit.
Ini pun dapat menjadi faktor penting dalam memberikan sikap optimis kepada si
sakit sehingga memudahkan penyembuhan.
0 comments:
Post a Comment